Komunikasi: Antara Realitas, Relevansi, dan Pergeseran Zaman



Kalau matematika disebut bahasa logika, dan ekonomi adalah ilmu tentang menentukan pilihan, maka komunikasi bisa disebut sebagai seni—seni membangun makna, rasa, bahkan realitas. Dalam antropologi, kita belajar bahwa komunikasi adalah fondasi peradaban. Melalui komunikasi, manusia menciptakan kesepakatan bersama yang kemudian membentuk realitas sosial.

Ambil contoh uang. Pada dasarnya ia hanya selembar kertas. Namun karena adanya kesepakatan dan simbolisasi melalui komunikasi, kertas itu memiliki nilai dan diakui sebagai alat tukar. Begitu pula negara. Negara tidak memiliki bentuk fisik murni; ia ada karena imajinasi kolektif yang diwujudkan lewat simbol, bendera, bahasa, dan konstitusi. Semua itu adalah produk komunikasi.

Dari sinilah kita memahami bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan proses menentukan dan membentuk realitas. Politik menjadi panggung realitas, media tradisional dulu berfungsi sebagai pengukuh realitas, sementara internet hadir sebagai penguji realitas. Realitas yang dibangun bisa menguat jika diterima publik, atau digantikan oleh realitas baru jika dinilai tidak relevan.

Relevansi: Kunci Bertahan di Era Digital

Di tengah derasnya arus informasi, relevansi menjadi kunci utama dalam komunikasi. Tidak lagi soal siapa yang paling pintar, nasionalis, atau teknokrat, melainkan siapa yang paling mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan persepsi publik.

Kegagalan relevansi tampak pada strategi komunikasi politik Ridwan Kamil dalam Pilpres 2024. Jika pada 2012 gimik dan kreativitas segar berhasil memikat publik, pada 2024 strategi serupa justru dianggap usang. Publik tidak lagi terpesona oleh gimmick, melainkan menuntut solusi konkret. Akibatnya, strategi yang tidak relevan bukan hanya melemahkan basis dukungan, tapi juga memperkuat lawan.

Hal serupa juga terlihat pada pejabat publik. Tahun 2014–2017, aksi menteri yang tampil santai, nge-band, atau bercanda di depan publik memberi sentimen positif karena terasa segar. Namun saat pandemi COVID-19, strategi serupa menjadi bumerang. Publik tidak lagi menginginkan hiburan, melainkan kepemimpinan yang serius. Inilah bukti bahwa relevansi bersifat dinamis, berubah mengikuti konteks zaman.

Perubahan Lanskap Komunikasi

Secara teoritis, perubahan ini juga terlihat dari perkembangan model komunikasi. Dahulu, alur komunikasi sederhana: pemerintah memberi rilis ke media, media menyebarkan ke masyarakat, dan masyarakat menanggapi melalui opini atau surat pembaca. Namun sejak munculnya media sosial, pola ini berubah total.

Kini, pemerintah bisa langsung menyampaikan pesan melalui platform digital. Media mengambil konten dari media sosial, begitu pula sebaliknya. Masyarakat pun terbagi menjadi active citizen (yang aktif membuat konten, kritik, atau dukungan) dan passive citizen (yang sekadar menjadi penikmat informasi). Alur komunikasi menjadi loop yang kompleks, penuh interaksi timbal balik, dan tidak lagi dimonopoli oleh satu pihak.

Tantangan Ilmu Komunikasi Modern

Perubahan cepat ini membuat ilmu komunikasi semakin rumit. Jika dulu suara publik hanya bisa muncul lewat tulisan atau media resmi, kini setiap orang dengan ponsel dan akun media sosial bisa menjadi komunikator. Teori-teori klasik seperti agenda setting atau propaganda model Chomsky perlu diadaptasi agar tetap relevan di era digital.

Pada akhirnya, komunikasi hari ini bukan lagi soal siapa yang paling lantang, melainkan siapa yang paling adaptif. Relevansi adalah benang merah yang menyatukan persepsi publik yang beragam. Ia menentukan apakah sebuah pesan bertahan, melemah, atau tergantikan.



Komentar